Jumat, 16 Januari 2015

SANTRI IDEAL ???


Perbedaan yang sangat mencolok antara orang-orang dulu dengan orang sekarang (baca: ulama) adalah dari sisi keilmuannya. Jarang kita jumpai pada masa lalu ulama yang hanya ahli (spesifik) satu bidang ilmu tertentu. Kalaupun ada, spesifikasi tersebut lebih mengarah kepada ilmu yang beliau geluti. Bukan berarti tidak menguasai ilmu-ilmu yang lain. Beda halnya dengan sekarang, spesifikasi menunjukkan kepada keahlian tertentu.


Taruhlah contoh Imam Zakaria al-Anshary, seorang ulama yang dikenal ahli fiqh dalam madzhab Syafi’i. Kitab-kitabnya dalam bidang fiqh menunjukkan, bahwa ia seorang faqih yang tak perlu diragukan. Namun, bukan berarti beliau hanya ahli dalam bidang fiqh, sementara nahwu, tafsir, ushul fiqh, hadits, mantiq, dan lain-lain tidak beliau kuasai. Karya-karyanya, seperti Syarkh Syuduru al-Dzahab (nahwu),Fath ar-Rahman (tafsir), Tuhfah al-Bary (hadits), Ghayah al-Wushul (ushul fiqh),Syarakh Isaghuji (mantiq) membuktikan betapa beliau ulama yang memiliki kualifikasi keilmuan dalam berbagai bidang.
Hal ini berbeda jauh dengan masa sekarang. Bisa kita lihat pada seorang dokter yang memiliki spesifikasi keilmuan tertentu, seperti halnya dokter spesialis mata. Sangat tidak mungkin dokter spesialis mata mengetahui secara detail gejala seorang pasien yang menderita penyakit dalam (internis). Bahkan, bukan hal yang mustahil bila suatu saat ada dokter spesialis mata kiri, sehingga sang dokter tidak bisa mengobati pasien yang menderita penyakit mata kanan. Hal inilah yang juga terjadi pada ulama-ulama sekarang yang memiliki spesifikasi keilmuan tertentu, semisal nahwu. Tentu, ia akan merasa kesulitan menyelesaikan persoalan seputar fikih, ushul fikih, tafsir, dan semacamnya.
Kondisi semacam ini tentu tidak kita harapkan. Oleh karenanya, selaku generasi muda atau kaum santri harus menyiapkan diri sedini mungkin dengan menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti nahwu, sharraf, al-qur’an, fiqh, ushul fiqh, mantiq, dan beberapa ilmu yang saling terkait dan saling mendukung. Bukankah para ulama telah mempromosikan atau menganjurkan agar kita mempelajari supaya menguasai berbagai bidang ilmu tersebut.
Nahwu
Nahwu merupakan suatu bidang ilmu (fan) yang bisa mengantarkan seseorang mampu membaca sekaligus memahami kandungan isi (pesan) al-Qur’an, Hadits, dan kitab kuning. Orang-orang biasa menyebutnya dengan ilmu alat, alat untuk bisa membaca kitab. Ulama nahwu telah lama berpesan agar ilmu ini yang harus dikuasai pertama kali, mengingat sebuah pembicaraan tak akan dapat dipaham tanpa nahwu, sebagaimana dalam sebuah nadham,
وَالنَّحْوُ أَوْلَى أَوَّلاً أَنْ يُعْلَمَا….. إذِ الْكَلاَمُ دونَهُ لَنْ يُفْهَمَا
Sharraf
Selain nahwu, sharraf juga harus dikuasai, mengingat ia merupakan gandengan atau temannya nahwu. Bila nahwu lebih menitikberatkan pada permasalahan atau pembahasan bacaan akhir kalimat, maka sharraf lebih kepada bacaan di tengah atau di awal kalimat. Jadi, kedua-duanya saling melengkapi. Oleh karenanya, tak salah bila terdapat sebuah ungkapan yang mengibaratkan keduanya sebagai sebuah keluarga (suami-istri),
النَّحْوُ أَبُو الْعِلْمِ وَ الصَّرْفُ أُمُّهَا
Mantiq
Mantiq tak ubahnya nahwu, di mana ia merupakan suatu ilmu yang bisa mengajarkan seseorang untuk berfikir dengan logika yang rasional dan benar. Dalam arti, alat yang bisa mengantarkan seseorang menarik sebuah kesimpulan (konklusi) yang bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya, ilmu ini haruslah dikuasai, karena dalam pandangan al-Ghazali, seseorang yang tidak memahami mantiq, ilmunya tak dapat dipercaya,
أَنَّ مَنْ لاَ مَعْرِفَةَ بِالْمَنْطِقِ لاَ يُوْثَقُ بِعِلْمِهِ
Fikih
Fikih adalah ilmu yang membahas dan mengatur hubungan manusia dengan manusia yang lain dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Hendaknya semua orang mengerti fiqih, mengingat ia dapat menjadi penunjuk jalan kebaikan. Syekh Muhammad bin Hasan bin Abdillah sedari awal sudah mewanti-wanti agar mempelajari fiqh karena terdapat hikmah yang sangat besar,
تَفَقَّهْ فَإِنَّ الْفِقْهَ أَفْضَلُ قَائِدِ                       إِلىَ البِرِّ وَالتَّقْوَى وَأَعْدَلُ قَاصِدِ
هُوَ الْعِلْمُ الْهَادِي إِلىَ سُنَنِ الْهُدَى             هُوَ الْحِصْنُ يُنْجِي مِنْ جَمِيْعِ الشَّدَائِدِ
فَإِنَّ فَقِيْهًا وَاحِدًا مُتَوَّرِعًا                        أَشَدُّ عَلىَ الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدِ
Belajarlah fiqih, karena sesungguhnya fiqih sebaik-baik tuntunan dan selurus-lurus tujuan menuju kebaikan dan takwa
Ilmu fiqih dapat menjadi petunjuk, juga dapat menjadi benteng yang dapat menyelamatkan dari berbagai bencana
Karena sesungguhnya orang yang ahli fiqih (faqih) lagi wara’ adalah lebih berat bagi syetan dari pada seribu orang ahli ibadah (yang tidak paham fiqih)  
Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan pedoman utama umat Islam, membacanya pun menjadi ibadah (dapat pahala). Nabi pernah bersabda,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Orang yang terbaik adalah orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.”
Oleh karenanya, hendaknya kaum muslimin menguasai al-Qur’an secara lafdan wa ma’nan, sebagaimana        para imam-imam madzhab yang sudah menguasainya semenjak kecil.
Menjadi santri ideal, dalam arti menguasai berbagai bidang ilmu sebagaimana imam-imam terdahulu sulit terwujud jika tidak disertai dengan kemauan dan kerja keras. Intinya, ada pada pribadi masing-masing sanggup tidaknya melahirkan kembali imam-imam sekaliber al-Ghazali, Zakaria al-Anshary, dan imam-imam yang lain di masa yang akan datang. Bukan hal yang mustahil mencetak dirinya menjadi seorang ulama seperti mereka, selama mampu mempraktikkan apa saja yang pernah dilakukan mereka selama menuntut ilmu (nyantri). (Tinta Qana’ah)


Jumat, 09 Januari 2015

Kenapa Memperingati Maulid Nabi ???


Masih ada saja sekelompok kecil dari umat Islam yang berpendapat bahwa merayakan hari kelahiran Nabi SAW adalah bid’ah tercela, bahkan dituduh haram, dengan alasan Nabi SAW tidak pernah melakukan dan tidak ada hadits shahih yang menganjurkan. “Benarkah pendapat seperti ini?”




KH Ma’ruf Asrori mengawali ceramahmya itu pada Peringatan Maulid Nabi Saw yang diselenggarakan Jam’iyyah Al-Islah Jemurwonosari Surabaya, Ahad (12/1)
Seandainya Nabi Saw. memang tidak pernah merayakan hari kelahirannya, dan tidak ada hadits shahih yang secara tekstual menganjurkan merayakan Maulid, maka hal ini tidak serta merta menjadi alasan untuk mengharamkan Maulid Nabi Saw. dan menganggapnya sebagai bid’ah yang tercela,” kata Kiai Ma’ruf.
Menurutnya, umat Islam juga mempertimbangkan dalil-dalil agama yang lain, seperti Qiyas, Ijma’ dan pemahaman secara kontekstual terhadap dalil-dalil syar’i. Karena itu, meskipun telah dimaklumi bahwa Nabi Saw. tidak pernah merayakan Maulid dan tidak ada hadits shahih yang secara tekstual menganjurkan Maulid, para ulama fuqaha dan ahli hadits dari berbagai madzhab tetap menganggap baik dan menganjurkan perayaan Maulid Nabi Saw.
.
“Peringatan Mailid Nabi juga didasarkan pada pemahaman secara kontekstual (istinbath/ijtihad) terhadap dalil-dalil al-Qur’an dan hadits,” katanya.
Di antara ayat al-Qur’an yang menjadi dasar perayaan maulid adalah: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya’ : 107) dan ayat “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” (QS. Yunus : 58).
Nabi Muhammad SAW sendiri mengagungkan hari kelahirannya dengan puasa, sebagaimana hadis, “Dari Abu Qatadah ra., sesungguhnya Rasulullah SAW telah ditanya perihal puasa hari Senin, beliau bersabda: “Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu pula wahyu diturunkan.” (HR. Muslim) 
Ayat di atas memerintahkan kita agar bergembira dengan karunia Allah dan rahmat-Nya yang diberikan kepada kita. Sahabat Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat tersebut berkata: “Karunia Allah adalah ilmu agama, sedangkan rahmat-Nya adalah Muhammad SAW.” Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa merayakan hari kelahiran Nabi SAW merupakan pengejawantahan dari ayat dan hadits di atas yang memerintahkan kita bergembira dengan rahmat Allah.
“Hal ini secara implisit memuat arti perayaan itu sendiri. Hanya saja cara mengungkapkannya berbeda, namun maksud dan tujuannya tetap sama. Artinya bisa dengan puasa, menjamu makanan, berkumpul guna berdzikir, bershalawat atas Nabi SAW, ataupun menyimak perangainya yang mulia.,” demikian KH Ma’ruf Asrori yang juga penasehat Jam’iyyah Al-Islah sambil mengetengahkan ayat al-Qur’an dan hadits nabi yang mendasarinya.
Pemahaman seperti ini perlu diketengahkan. “Peringatan maulid Nabi yang setiap tahunnya diadakan tidak sekedar seremonial belaka, tapi juga di-ilmiahi agar bernilai ibadah, dalam rangka mensyukuri rahmat Allah SWT dan menunjukkan kecintaan kita terhadap Rasulullah.
”Apalagi kalau dilihat acaranya sungguh padat dengan ibadah, seperti membaca al-Qur’an, shalawat, istighotsah dan ceramah sekitar akhlak Nabi yang perlu kita teladani, seperti akhlak beliau menjadi kepala keluarga, menerima tamu, dengan tetangga, menghadapi musuhnya dan posisinya sebagai kepala negara,” ungkapnya di tengah ratusan warga nahdliyin. (NU Online – www.nu.or.id)

Jumat, 02 Januari 2015

Catatan Hikmah Perjalanan Bani Abdusy Syakur

Oleh: Rozi Nawafi  



Pagi itu, matahari baru saja beranjak dari peraduannya. Senyum embun pagi mekar dalam balutan mendung. Lalu-lalang kendaraan menyisir halaman rumah yang penuh dengan gemuruh suka cita anak-anak. Hari itu, kami keluarga bani Abdusy Syakur menyambut pagi dengan penuh optimis dan senyuman yang tersungging di wajah. 

Pagi itu adalah hari yang bersejarah bagi keluarga kami, karena akan berlibur bersama ke kota Bandung sekaligus ziarah ke sebagian wali Allah. Berlibur atau yang biasa disebut “rekreasi” ini tidak sekedar jalan-jalan atau menikmati keindahan panorama alam, namun di sana ada tujuan mulia yang tersirat, yaitu kebersamaan dan silaturrahmi.

Silaturrahmi adalah ajaran pokok dalam setiap agama, karena di dalamnya mengandung esensi kemuliaan dalam jiwa untuk saling menyayangi dan menghargai. Kebersamaan dalam rajutan silaturrahmi menampakkan kehidupan yang abadi dan luasnya rizki. Demikianlah petikan sabda Nabi yang mulia, Muhammad Saw,. Kebersamaan kami dalam perjalanan merupakan bentuk silaturrahmi yang dikemas dengan “acara” rekreasi.

Acara yang cukup menguras dana dan tenaga ektra seperti ini, sebenarnya pernah dilaksanakan beberapa tahun yang lalu. Pada tahun 1997, seluruh keluarga yang terhimpun dalam Bani Nur Fadlil berziarah ke para wali Allah di tanah jawa.  Dan pada tahun 2010, keluarga Bani Abdusy Syakur mengadakan perjalanan silaturrahmi ke sanak family yang berada di Banten.

Jam 06.00 tepat, keluarga Bani Abdusy Syakur menyambut bus yang tiba di halaman rumah dengan gagap gempita. Adik-adik, kakak-kakak, neng-neng, bibi-bibi dan paman-paman sibuk menyiapkan barang bawaan dengan raut wajah yang merona dan sunggingan senyum tiada henti. Bapak Agung selaku ketua panitia, memberikan aba-aba dan mempersilahkan kepada seluruh keluarga untuk  menempati kursi yang telah disediakan. Anak tertua dari Bani Abdusy Syakur adalah Ibu Nyai Mufarrahah yang menempati posisi tempat duduk deretan depan di belakang kursi panitia sebelah kanan. Sedangkan keluarga Wajak, yang merupakan anak kedua dari Bani Abdusy Syakur, menempati kursi kedua sebelah kiri di belakang “Umi” Ibu Nyai Zuhroh Ahmad. Selang 30 menit, bus berangkat dengan gontai dan pelan, saat itu pula seluruh keluarga membaca doa safar bersama. Amin...

 "Subahaanalladzi sakhkhara lana hadza wama kunnaa lahuu muqriniin, wa inna ilaa rabbinaa lamunqalibun”.

Di tengah perjalanan, Umi meminta kepada seluruh anggota keluarga untuk membaca doa istighotsah dilanjutkan dengan membaca diba’ (maulid al-Diba’i). bersamaan dengan itu, bus melaju kencang menyisiri jalan menuju kota Tuban. Awalnya, permintaan Umi ini kurang mendapat respon dari cucu-cucunya karena mereka merasa sungkan dan malu membaca di hadapan Umi, namun sejurus kemudian Neng Zumrotul mukaffa’ (anak ketiga sekaligus wakil ketua panitia) mengambil alih mikrofon dan membuka bacaan diba’ dengan tawassul dan doa. Selanjutnya, “para artis” yang memiliki keindahan suara dari cucu bani Abdusy Syakur tampil dengan alunan lagu yang indah.  Adalah Neng Uis (Ussisa Haq) dan dek Ofa (Najma Diwany al-Mu’arrafah) sebagai “artis”nya. Dengan duet maut, keduanya mendendangkan lagu shalawat. Keindahan suaranya, menyirami hati yang layu dan kosong, membasahi bibir untuk ikut andil bershalawat. (Allahumma Shalli ala Sayyidina Muhammad).

Kebersamaan saat melantunkan shalawat tampak mengakar dari seluruh keluarga ini, pujian atas keagungan akhlak Nabi menyeruak dalam bait-bait syair yang didendangkan bersama. Kemesraan dan kebersamaan seperti ini sangat sulit dijumpai pada hari-hari biasa, karena sebagian besar dari keluarga ini telah menjadi tenaga profesional di bidangnya masing-masing. Ada yang menjadi rektor di perguruan tinggi Islam ternama di Surabaya, dosen dan kepala urusan asrama putri mahasiswi, kepala sekolah di SD hingga SMA dan bisnisman muslim sukses. Meskipun demikian, pada kesempatan ini semuanya berbaur dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan dari ikatan batin keluarga. Semoga kemesraan ini abadi, Ya Rabb.....

Di tengah perjalanan menuju ke makam Sunan Bonang, bapak Agung menjelaskan sekelumit sejarah silsilah dan perjalanan dakwah Sunan Bonang kepada seluruh anggota keluarga. Dalam pengakuannya, beliau adalah mantan guru sejarah dan alumni strata S-1 di Unisma Malang. Maka tak ayal jika dalam mengulas sejarah, beliau sangat teliti meskipun hanya dengan ulasan singkat. Penjelasan yang dituturkann tidak hanya sekedar sejarah yang berkaitan dengan Sunan Bonang, namun juga tentang sejarah yang berada di sekeliling kota Tuban.

Selang beberapa jam kemudian, kami sampai di makam Sunan Bonang (Maulana Makhdum Ibrahim). Di sana, kami membaca tahlil yang di pimpin oleh K.H Arsyad Arif, menantu pertama dari K.H. Abdusy Syakur. Setelah pembacaan tahlil selesai, kami melanjutkan perjalanan ke kota wali selanjutnya, yaitu kota Demak untuk berziarah ke makam Sunan Kalijaga (Raden Syahid), yang merupakan murid Sunan Bonang. Namun, sebelum melanjutkan ke kota Demak, kami melaksanakan shalat dan makan siang bersama.

Menjelang sore hari, kami sampai di kota Demak. Kota ini merupakan tempat Sunan Kalijaga menyebarkan misi Dakwahnya yang berperantara gamelan dan nyanyian. Menurut penuturan bapak Agung, Sunan Kalijaga bukan hanya sekedar pemuka agama, tapi beliau juga seorang seniman yang piawai. Jalan dakwah yang beliau tempuh mendapatkan sambutan positif dari masyarakat, baik dari kalangan bawah maupun priyayi. Tak heran jika pada saat itu gamelan  menjadi musik tradisional yang banyak digemari oleh masyarakat.

Dari Demak, kami melanjutkan rute perjalanan ke kota kembang, Bandung. Malam pertama kami lalui di dalam bus dengan berteman sepoinya angin AC yang sedikit mengusik dan menggelitik . Sesekali terdengar tangisan anak kecil dan suara gemuruh kendaraan yang melaju kencang, bercampur padu dengan iringan lagu pengantar tidur yang mengalun syahdu, membuat kami lelap dalam pelukan malam. Suasana dingin dalam bus, sedingin rajutan harapan kami dalam menggapai Ridha Ilahi. Abadikan ikatan keluarga kami dalam ridha-Mu, Ya Rabb…

***

Subuh telah tiba, kamipun sampai di kota Cirebon. Di tengah-tengah kota Cirebon, tepatnya di sebuah masjid yang berada pada persimpangan jalan tol, kami menunaikan shalat subuh bersama. Selepas shalat subuh, kami melanjutkan perjalanan ke kota Sumedang yang dikenal dengan makanan khasnya, tahu sumedang. Sepanjang perjalanan, untuk memecah keheningan yang menggelayuti, setiap perwakilan keluarga unjuk gigi menampilkan bakat tarik suara yang mereka miliki. Dengan menirukan lagu yang disediakan oleh pihak sopir bus, maka meriahlah perjalanan kami pagi itu. Hal ini dilakukan bukan hanya untuk sekedar hura-hura atau uji kemampuan tehnik vocal saja. Tapi lebih dari itu, kegiatan ini melatih keberanian untuk tampil di khalayak umum. Alhamdulillah, semuanya menunjukkan keberaniannya.

Selang beberapa saat, terdengar suara gemuruh anak-anak kecil yang takjub melihat keindahan pohon teh yang tertata rapi di sepanjang ruas jalan menuju tempat pemandian air panas Sari Ater di Ciater. Ciater I’m coming…

Di tempat pemandian ini, kami menghabiskan waktu sekitar 3 sampai 4 jam untuk menikmati kehangatan sungai dan kolam yang tersedia. Air panas bercampur belerang ini merupakan air alami yang bersumber dari pegunungan Ciater. Kehangatannya dapat menghilangkan rasa letih di sekujur badan karena efek perjalanan. Penulis sendiri memilih untuk berendam dan menikmati air panas ini dari aliran sungai -karena permintaan istri yang sedang hamil-,  adapun sebagian keluarga yang lain, memilih berenang di kolam. Dengan merasakan nikmat ini, maka Karunia Tuhan manakah yang kita dustakan ?!!!.

Setelah puas menikmati kehangatan dan keindahan Ciater –plus sarapan tentunya-, kami meneruskan perjalanan ke puncak gunung Tangkuban Parahu. Di sana kami menikmati keindahan lain dari ciptaan-Nya yang berupa puncak gunung yang penuh kabut dan asap belerang. Dalam khazanah kenusantaraan, Tangkuban Perahu memiliki legenda yang mengakar sampai saat ini, meskipun keabsahannya belum diketahui. Sebagian orang mengisahkan bahwa Tangkuban Parahu ini terjadi akibat dari kedurhakaan seorang anak kepada orang tuanya. Maka benarlah bila seorang anak harus berbakti kepada orang tuanya, karena ridha Allah di bawah tangan ridha orang tua, demikian pula murka Allah di bawah tangan murka orang tua.

Selepas menikmati keindahan panorama dan ketinggian puncak Tangkuban Parahu, kami sekeluarga beranjak dari Subang menuju Hotel Lingga di Bandung untuk beristirahat dan menghilangkan penat. Ingin hati segera sampai di peraduan empuknya kasur, namun apa daya, kemacetan yang super panjang disertai rintik hujan yang tiada henti, menjadi agenda yang tidak tertulis namun tidak terelakkan untuk dinikmati dalam perjalanan kami. Rencana semula, diagendakan untuk sampai di hotel sebelum maghrib, namun ternyata baru jam 9 malam kami bisa menikmati empuknya springbed hotel. Makan malam pun menjadi agenda yang tertunda. Memang benar, manusia dapat seluas-luasnya berencana, namun hanya tinta Ilahi yang menakdirkan. AL-INSAN BIL TAKHYIR, ALLAH BI AL-TAQDIR.

Setelah melepas lelah dan letih semalaman di atas springbed hotel Lingga dan menyantap sarapan ala Lingga di pagi hari, kami melanjutkan perjalanan menuju tempat yang menjadi agenda inti, yaitu Trans Studio di jalan Subroto, Bandung. Sebelum meninggalkan tempat penginapan, kami dan seluruh keluarga mengabadikan gambar kami dalam lingkaran kamera, berfoto bersama. Senyum dan tawa terlukis indah dari wajah-wajah kami, seindah suasana pagi di kota Kembang ini. Dalam perjalanan menuju Trans Studio, bapak Agung dan para panitia member arahan dan penjelasan perihal Trans Studio. Ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh calon pengunjung, bahwa tiket masuk mengharuskan untuk merogoh kocek antara Rp.250.000-300.000 an, sedangkan untuk makan dan minum harus menggunakan cash card Mega sebagai ganti dari uang. Say Welcome for us Trans Studio…

Tidak terbayang sebelumnya bahwa di dalam Trans Studio terdapat kerumunan manusia layaknya barisan semut. Tidak ada satu permainan pun yang tanpa antrian. Seluruh pengunjung harus punya dompet “sabar” untuk antri dan bermain di salah satu permainan yang disediakan. Ya, kecuali jika berminat untuk merogoh kocek lagi sebesar Rp.250.000 agar mendapatkan tiket VIP yang anti-antri dan anti-capek karena ngantri. Waktu yang diberikan oleh pihak panitia dari jam 10 pagi sampai sore setelah maghrib, karena selepas shalat isya’, kami harus berangkat menuju Jawa Timur .

Penulis sendiri tidak sepenuhnya dapat menggunakan fasilitas-fasilitas permainan yang disedikan, mengingat kondisi istri yang sedang hamil dan tidak memungkinkan untuk menikmati permainan yang ekstrim. Ala Kulli Hall.., alhamdulillah penulis beserta keluarga ikut senang menyaksikan keindahan dan keceriaan yang ada.

Ada hal menarik dari Trans Studio ini, yaitu pertunjukan karnaval yang dipersembahkan oleh pihak pengelola setiap pukul 04.00 sore setiap harinya. Di dalam acara tersebut, kami dapat menyaksikan langsung berbagai penampilan dan atraksi luar biasa yang dipertunjukkan. Mata ini serasa tak ingin berkedip agar tak ketinggalan melihat setiap siklus keindahan dan panorama warna-warni dalam pertunjukan tersebut.
Menjelang Maghrib, kami dan seluruh keluarga meninggalkan Trans Studio dengan rasa suka cita. Semoga di lain waktu kita berjumpa kembali, bye bye….Trans….

Setelah melaksanakan shalat Isya’, kami meninggalkan kota Bandung. Rute selanjutnya adalah berziarah ke makam wali Allah, Sunan Ibrahim Asmorokandi (Samarkand, red).
Dalam perjalanan kembali menuju kota Tuban, kami dan seluruh keluarga berbagi cerita dan pengalaman dalam suasana suka cita. Tentang permainan, tentang belanjaan dan yang paling heboh adalah usulan untuk mandi di air panas yang mengandung belerang di Pacet, Mojokerto. Usulan ini awalnya kurang mendapat sambutan dan respon positif karena sebagian besar dari keluarga terkendala dengan waktu yang sangat sempit, belum lagi masalah bekal. Namun, sejurus kemudian seluruh keluarga menyetujui dengan penempatan jadwal yang solutif. Pacet,….i’ll come,…

Ketika adzan dhuhur dikumandangkan, kami sepakat untuk makan siang dan shalat di dareah perbatasan antara jawa tengah dan jawa timur. Di tengah perjalanan menuju tempat yang akan kami singgahi selanjutnya, hati ini dan hati kita semua terenyuh, tersentuh dan air mata pun mengalir tanpa di minta. Ini karena Umi menyatakan bahwa sedari awal perjalanan hingga saat ini, beliau selalu membaca al-Qur’an. Maka di perjalanan ini, beliau meminta kami untuk membantu menghatamkannya. Tidak ada yang menyangka dan tidak ada yang mengira bahwa sepanjang perjalanan kami ternyata tidak lepas dari iringan al-Qur’an dan dzikir yang Umi lantunkan tiada henti. Inilah yang harus kita contoh dan kita teladani. Kemapanan dan keindahan dunia tidak pernah mengusik keistiqamahan Umi untuk selalu membaca al-Qur’an dan berdzikir kepada Tuhannya.

Tuhan, berilah umur yang panjang kepada beliau, tularkan keistiqahaman beliau kepada kami dan berilah kami taufiq untuk mencontohnya. Dunia ini sangat sempit bagi hamba-Mu yang telah dekat dengan-Mu, hanya Dzat-Mu yang menjadi bagian hidupnya. sebenarnya hanya kepada-Mu kami bersimpuh dan memohon.

Suara takbir dan hamdalah bergemuruh di tengah-tengah perjalanan ketika surat-surat akhir dari al-Qur’an dilantunkan oleh setiap cucu-cucunya. Sebagai pemungkas dari hataman ini, Umi meminta cucunya “yang ganteng” Amjad Muhammad untuk memimpin doa.

Tuhan, jadikanlah al-Qur’an bersemi dalam hati kami, cahaya dalam qalbu kami dan denganya hilangkanlah kesusahan kami, lenyapkanlah kegundahan hati kami.

Tuhan, penuhilah cahaya mata batin kami dengan cahaya kitab-Mu, lenturkanlah lidah kami untuk selalu membaca kalam-Mu, dan luaskanlah dada kami dengan keluasan makna firman-Mu, siramilah jasad kami dengan kelembutan sifat syifa’-Mu. Sesungguhnya hanya kepada-Mu kami mengadu dan memohon.

Tuhan, dengan kalam-Mu, kami hadiahkan kepada hamba-Mu teragung, Muhammad. Dengan untaian ayat-ayat-Mu yang telah dibaca, kami memohon ampunan atas segala dosa-dosa kami, orang tua kami dan orang-orang yang mendahului kami. Siramilah mereka dengan rahmat-Mu, teduhkanlah mereka dalam lindungan ma’unah-Mu, tempatkan mereka dalam surga-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa dan penerima atas segala doa-doa hamba-Mu.

Menjelang sore, kami sampai di makam Sunan Ibrahim Asmorokandi. Selain berziarah, di sana kami juga menikmati indahnya sore di pinggir laut. Hamparan laut yang luas menjadi bukti kekuasaan Tuhan dan keindahan mata yang memandang.

Setelah melaksanakan shalat  maghrib dan isya’, dilanjutkan belanja dan berkemas, kami bergegas untuk kembali ke bus dan melanjutkan perjalanan pulang ke Keputih. Dalam perjalanan pulang, kami terlelap dan tanpa terasa jam 22 00 kami tiba di depan halaman rumah. Alhamdulillah. This is the real journey,….

Untaian Rasa Syukur dan Terima Kasih.

Terima kasih kami haturkan kepada Umi (ibu Nyai Zuhroh Ahmad) yang telah memberi kesempatan kepada kami untuk berziarah, berlibur dan menanggung segala biaya perjalanan kami. Semoga Allah membalas kebaikan Umi. Doa kami juga selalu menyertai Jid (K.H. Abdusy Syakur Ibrahim) yang telah mendahului kami.

Terima kasih juga kami sampaikan kepada bapak Ir. Agung Wahyudi, Ibu. Dr. Hj. Zumrotul Mukaffa, Om, Soekamto, dan Neng Siti Musyfiqoh yang telah berjuang untuk mensukseskan acara ziarah dan tur ini. Semoga Allah melimpahkan kebaikan panjenangan-panjenangan. Amin,…

Terima kasih kepada K.H. Arsyad Arif yang telah membimbing dan memimpin kami dalam perjalanan ini. Semoga bimbingan dan petunjuk Allah menyertai panjenangan dan kita semua. Amin,…

Terima kasih kepada seluruh anggota keluarga yang ikut berpartisipasi dalam acara ini. Semoga tahun-tahun yang akan datang kita dapat bersua kembali dalam acara yang lebih meriah dan berkesan. Amin…

Kepada adek Ming (Shahib Mirbath) yang telah legowo untuk tidak ikut bersama kami dalam acara ini. Terima kasih yaaa…,doamu selalu menyertai kami, kamu bagaikan “penjaga gawang” di bani Abdusy Syakur.

Yang terakhir, terima kasih kami ucapkan kephada bapak sopir bus Tiara, bapak Untung, Anto dan Totok. Semoga perlindungan-Nya selalu menyertai bapak-bapak . Amin,…

Kamis, 1 Januari 2015.
Keputih Sukolilo.

Popular Posts