Senin, 29 Desember 2014

Tradisi Ulama Sebagai ’’Brahmana’’


Menurut catatan sejarah, Islam sudah hadir di Nusantara beberapa ratus tahun sebelum era Wali Songo. Selama ratusan tahun itu, tidak terjadi kemajuan berarti dalam penyebarannya. Hanya koloni-koloni kecil orang Arab dan Tionghoa muslim yang terpencar-pencar tidak merata di sekitar wilayah pantai. Tapi, begitu dakwah Wali Songo bangkit, Islamisasi Nusantara berhasil meratai kepulauan surga ini dalam waktu tidak lebih dari 50 tahun saja. Apa kunci suksesnya?


Emha Ainun Nadjib, Cak Nun, membuat penjelasan yang menarik. Berdasar pemeriksaannya, orang-orang Islam yang datang ke Nusantara pra-Wali Songo adalah kaum pedagang. Dalam alam pikiran Hindu yang waktu itu mendominasi peradaban Nusantara, pedagang itu berkasta sudra, bukan golongan orang yang secara normatif perlu diperhatikan dan dipegang omongannya karena dianggap berkubang pamrih.
Wali Songo adalah orang-orang alim-sufi yang sudah tidak punya gairah apa pun selain kepada Tuhan dan akhirat. Bersih dari segala pamrih duniawi. Di mata masyarakat Hindu, mereka adalah para ’’brahmana’’, golongan yang malati. Barangsiapa tidak mau mendengar dan mengikuti petuah kaum mulia itu akan menghadapi risiko celaka. Karena itu, orang banyak pun serta-merta menyambut seruan Wali Songo kepada agama yang memang indah ini.
Tradisi ulama sebagai ’’brahmana’’ pembimbing umat itu pun selanjutnya dilestarikan. Hierarki kepemimpinan masyarakat pesantren terbangun mengikuti ukuran kealiman dan kezuhudan: siapa paling alim dan paling zuhud, itulah pemimpin tertinggi. Dan ketika ’’hierarki kultural’’ tersebut ditransformasikan ke dalam struktur kepengurusan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, nilai-nilai itu dibawa serta pula, walaupun dibiarkan tetap menjadi aturan tidak tertulis.
Kepemimpinan dibagi, syuriah dan tanfidziyah, untuk memagari marwah para ulama di lingkungan syuriah agar tidak ’’tercemari’’ dinamika ’’politik internal’’ yang lazim terjadi di segala organisasi. Maka, rais am adalah maqom alim dan zahid dalam semesta kiai. Demikianlah yang berlaku sejak generasi para pendiri sebelum zaman menjadi terlalu tua dan pikun untuk mengingat-ingat warisan berharga dari masa lalunya.
Hari-hari menjelang Muktamar Ke-25 Tahun 1969, Kiai Wahab Hasbullah jatuh sakit menuju naza’. Suasana mengkristal ke arah pemilihan rais am baru dan tak seorang pun berpikir orang lain selain Kiai Bisyri Syansuri. Tapi, sebelum sidang pemilihan digelar, Kiai Bisyri menyerobot podium dan membuat pernyataan tegas, ’’Selama masih ada Kiai Wahab Hasbullah, saya hanya bersedia menerima jabatan di bawah beliau!’’
Kiai Wahab wafat beberapa hari setelah muktamar dan barulah Kiai Bisyri bersedia menerima jabatan rais am menggantikan pendahulunya.
Kiai Bisyri Syansuri wafat sebelum menyelesaikan periode kepemimpinan beliau hasil Muktamar Ke-26. Dalam Munas Alim-Ulama 1981 di Kaliurang, Jogja, tidak seorang pun kiai berani menggantikan beliau sebagai rais am. Kiai As’ad Syamsul Arifin yang pertama-tama ditawari menolak sekeras-kerasnya, ’’Walaupun Jibril turun menyuruh saya jadi rais am, saya tidak mau!’’
Orang-orang pun beralih kepada Kiai Mahrus Ali. ’’Jangankan Jibril,’’ kata Kiai Mahrus, ’’Walaupun Izrail yang turun menodong saya jadi rais am, saya tidak mau!’’
Musyawarah akhirnya beraklamasi menyetujui usul Kiai Ahmad Shiddiq untuk mengangkat Kiai Ali Ma’shum. Kebetulan, Kiai Ali Ma’shum tidak hadir di forum sehingga tidak dapat menyampaikan tanggapan langsung. Para kiai mengutus Gus Mus ke Krapyak untuk menyampaikan kesepakatan itu dan membujuk gurunya agar bersedia menerima.
Tapi, walaupun sehari suntuk merengek-rengek, Gus Mus gagal meluluhkan hati Sang Guru. Para kiai pun harus berombong-rombong turun dari tempat berkumpul mereka di Kaliurang menuju Krapyak untuk menggeruduk, kemudian membopong Kiai Ali Ma’shum yang tidak henti-hentinya menangis tersedu-sedu memikirkan beban tanggung jawab yang akan diembannya.
Jabatan rais am bukan privilege. Itu bukan jabatan duniawi. Bukan sekadar kepemimpinan manajerial. Rais am adalah tanggung jawab dunia-akhirat seutuhnya. Sedemikian dalam hingga mencakup tanggung jawab syar’iyyah dan ruhaniyyah sekaligus.
Apakah ini berarti kiai sama sekali tabu bersentuhan dengan pergulatan politik dan laga kekuatan?
Di belakang hari, menjawab pertanyaan seorang santri akan alasan beliau menerima jabatan rais am, Kiai Ali berkata, ’’Aku membenci jabatan. Tapi, aku lebih takut lagi lari dari tanggung jawab.’’
Menjelang Muktamar Ke-27 pada 1984, suasana kontroversial merebak di lingkungan Nahdlatul Ulama. Sebab, para dedengkot politik NU belum cukup rela melepas jam’iyyah itu kembali ke khitahnya. Dalam sebuah rapat Pengurus Wilayah NU Jawa Tengah, tiba-tiba muncul desakan untuk menunda konferensi wilayah (konferwil) yang sudah dijadwalkan.
Adalah para politikus yang punya agenda itu. Sebab, mereka khawatir dalam konferwil tersebut akan terjadi pergantian pengurus sehingga utusan yang dikirim ke muktamar nanti bukan dari kalangan mereka. Mereka mendesak sedemikian keras sehingga para kiai di jajaran syuriah menjadi risi dan cenderung diam. Kecuali Gus Mus.
Beliau waktu itu menjabat katib syuriah dan telah ditunjuk untuk menjadi ketua panitia pengarah konferwil. Setelah mengajukan argumentasi yang tandas, Gus Mus menancapkan ultimatum, ’’Kalau mau menunda konferwil, silakan saja. Tapi, saya berhenti dari pengurus!’’
Semua yang hadir terkejut. Tapi, raut muka para kiai justru terlihat bersemangat. Bahasa tubuh mereka pun mengisyaratkan siap pergi bersama Gus Mus! Rapat akhirnya tidak berani membuat keputusan selain meneruskan rencana penyelenggaraan konferwil seperti semula.
Sepanjang prosesi konferwil itu, Gus Mus laksana Lone Ranger mengerahkan dayanya habis-habisan untuk memastikan segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya. Beliau bahkan bersikeras meminta menjadi pembawa acara –yang seharusnya sudah bukan maqom katib syuriah– dalam upacara pembukaan untuk memastikan agar yang memberikan pidato sambutan atas nama PB NU adalah Rais Am Kiai Ali Ma’shum karena Gus Mus mencium gejala sabotase. Matori Abdul Djalil (almarhum), salah seorang wakil ketua tanfidziyah dan jagoan kelompok politisi yang sudah diplot untuk menjalankan peran ’’destroyer’’ dalam skenario mereka, ’’dikempit’’ Gus Mus habis tanpa bisa lepas sama sekali.
’’Kamu jangan jauh-jauh dari saya supaya kamu terlihat dekat dengan kiai. Jangan sampai kamu ikut dianggap memusuhi kiai,’’ ujar Gus Mus. Matori tidak punya kata-kata untuk membantah ataupun mengelak.
Setelah konferwil yang sukses, Matori menghampiri Gus Mus dan berujar sambil garuk-garuk kepala, ’’Saya salah sangka… Saya pikir Panjenengan itu nggak ngerti politik…’’
Muktamar Ke-32 di Makassar, Rais Am Kiai Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh rahimahullah hampir melewati pertengahan dari usia 70-annya. Beliau terlihat –dan kenyataannya memang– teramat sepuh dan lelah. Semua orang tahu betapa beliau amat mendambakan istirahat setelah mencurahkan dua pertiga umur beliau untuk NU. Kepada orang-orang terdekat, tidak sekali dua kali beliau mengungkapkan keinginan istirahat itu.
Tapi, kian dekat menuju muktamar, aroma hubbur riyaasah (ngebet jabatan) merebak. Kian terasa bahwa orang tidak sungkan mengincar jabatan tanpa memedulikan maqom. Bahkan, haibah (keangkeran) lembaga rais am terancam jatuh dijadikan sekadar portofolio politik.
Sudah sepuluh tahun marwah lembaga rais am berada di bawah pemeliharaan Kiai Sahal. Beliau tidak tega menyerahkan begitu saja marwah itu kepada terkaman bahaya. Di hadapan tatapan mata penuh permohonan dari santri-santri NU-nya, Kiai Sahal menghela napas mengerahkan seluruh energi rohaninya, ’’Baik. Saya bersedia maju lagi sebagai calon rais am.’’
Dengan itu, Kiai Sahal mendermakan seluruh sisa daya hidupnya. Beliau pun wafat sebelum selesai masa bakti jabatannya. Beliau memperoleh lebih baik dari sekadar istirahat. Beliau memperoleh syahaadah di tengah tugas.
Hari ini, entah masih ada berapa orang yang ingat bahwa Nahdlatul Ulama bukan organisasi biasa. NU tidak seperti perkumpulan pedagang atau petani, tidak pula semacam karang taruna. NU terlebih dahulu dan pada dasarnya adalah jamiyyah diiniyyah (perkumpulan keagamaan) sebelum ijtimaa’iyyah (kemasyarakatan). Seharusnya tidak boleh ada sejumput pun urusan dalam NU yang tidak membawa roh agama dan mengikuti panduan agama.
’’Djasmerah!’’ kata Bung Karno. Djangan sekali-kali melupakan sedjarah! (*)
(cyberdakwah.com)

Wahabi dan Syi’ah Mengokohkan Akidah Kaum NU


Wahabi dan Syi’ah merupakan bagian dari umat Islam yang mengklaim sebagai kelompok ahlus sunnah wal jama’ah. Mereka juga mengaku sebagai umat yang tulen mengikuti sunnah Nabi. Meski demikian, ternyata ajaran-ajaran mereka membuat kaum NU risih, merasa sangat mengganggu, bahkan dianggap akan menghancurkan akidah kaum NU.


Sebenarnya Wahabi, Syi’ah, dan NU adalah umat yang sama-sama merasa hamba Allah. Perbedaan mereka ada pada cara melangkah dan jalannya, namun tujuan mereka sama-sama mengarah kepada haribaan Allah subhanahu wa ta’ala. Jika itu yang benar-benar terjadi, wajar saja.
Yang menjadi masalah di antara mereka, ketika mereka sama-sama melangkah, salah satu di antara mereka mengganggu langkah yang lain, dengan alasan, mereka merasa bahwa langkahnya sendiri yang benar dan menganggap langkah orang lain salah. Sehingga, mereka yang merasa dirinya yang benar dan orang lain salah, mengatakan dengan sangat lantang, “langkah kalian salah, jalan kalian menyimpang dari rute (ajaran) Nabi dan Allah, Kalian Kafir”.
.
Mereka yang merasa benar sendiri, ketika mengajak kaum islam yang tidak sepaham dengan dirinya, cara mereka mengajak untuk sejalan dengan mereka ternyata tidak sesuai dengan tuntunan Nabi dan Allah. Meski tujuannya benar tapi caranya salah, tetap dianggap salah. Bahkan ada yang menggunakan cara yang sangat sadis, yaitu menyiksa dan membunuh umat Islam yang tidak sepaham dengan dirinya. Apa begitu cara Nabi mengajak orang untuk mengikuti ajarannya, apa lagi yang diajak memang juga umat Islam? Mungkin jika tidak ada tendensi lain, caranya tidak akan begitu.
Dan lagi, jika memang merasa benar dan menyadari akan kebenaran sendirinya, tidak akan menggunakan cara yang mengganggu orang lain. Biasanya, orang yang merasa benar dan mengajak orang lain dengan cara yang membuat orang yang diajak merasa terganggu, mereka yang mengajak belum menyadari kebenarannya sendiri. Artinya, mereka hanya merasa benar secara formalitas saja, tidak sampai pada esensi atau hakikatnya. Orang yang merasa benar dan menyadari kebenarannya, dia tidak akan mengajak orang yang dianggap salah dengan cara mengganggu, apa lagi membunuh.
Sekali lagi, mereka yang mengajak orang yang dianggap salah dengan cara mengganggu, mereka masih merasa benar dan belum menyadari kebenarannya sendiri. Atau lebih dimungkinkan karena ada tendensi. Semua orang merasakan dan yakin, bahwa jika memang ajakan seseorang pada kebenaran semata, orang yang diajak tidak akan merasa terganggu. Orang yang tidak tahu apa-apa pun pasti merasakan itu.
Kemunkinan lain yang membuat mereka mengajak orang yang dianggap salah, adalah karena mereka masih kelompok minoritas. Artinya, dengan mengajak orang lain, kelompok mereka akan bertambah dan semakin besar. Tujuannya, agar kelompok mereka diperhatikan oleh kelompok lain dan tidak dimarjinalkan. Jika memang itu masalahnya, berarti jangan menyalahkan kelompok lain, salahkan kelompoknya sendiri yang mengiktui program KB. Lebih tepatnya salahkan yang membuat UU KB.
Kelompok yang merasa terganggu adalah kaum NU. Ajaran Syi’ah dan Wahabi yang semakin hari semakin masuk ke wilayah kaum NU, membuat kaum NU sangat merasa terganngu. Karena khawatir ajaran Syi’ah dan Wahabi berhasil merubah, merusak dan menghancurkan akidah kaumnya sendiri. Kekhawatiran ini dirasa bagi orang yang akidanya masih lemah, apalagi akidah yang masih berlebel tarif.
Kaum NU menanggapi mereka dengan cara beranika ragam. Ada yang berdiri di podium dengan pidato-pidatonya, ada yang membuat buku dengan pendapat, argument, dan dalil-dalinya, dan ada yang membuat akun-akun internet dengan satatus dan komentarnya. Dari sekian bentuk tanggapan itu, ada sebagian yang menanggapi Wahabi dan Syi’ah dengan kata-kata yang sama sekali tidak pernah diajarkan Nabi. Nabi tidak pernah menanggapi orang yang tidak sepaham dengan beliau dengan kata-kata yang bejat.
Kaum NU yang menanggapi mereka dengan kata-kata olokan, cacian, ejekan dan lain sebagainya, diharap tidak perlu lagi menggunakan cara yang bejat. Cukup mereka yang hanya mengaku dirinya sebgai pengikut sunah Nabi. Sementara kaum NU sebagai orang yang tidak hanya mengaku, bahkan sebagai orang yang mengamalkan sunah Nabi.
Tapi sebenarnya, jika kaum NU menanggapi kehadiran Wahabi dan Syi’ah denganpositif; logika yang peka dan hati yang terbuka, kaum NU akan bersyukur. Sebab, dengan kehadiran Syi’ah dan Wahabi, kaum NU akan mengoreksi, mempelajari, dan lebih serius menjalani ajarannya sendiri. Dengan begitu, akidahnya akan lebih kokoh; tidak gampang diganggu bahkan mustahil dihancurkan oleh kelompok lain.
Artinya, orang-orang awam yang masih belum betul-betul mengetahui tentang akidahnya sendiri, mereka akan belajar karena khawatir akidahnya digoyahkan oleh kelompok lain. santri dan alumni pesantren akan lebih giat mempelajari kita-kitabnya karena kahwatir ada kelompok lain yang akan mempertanyakan tentang akidahnya sendiri. Dan, para tokoh masyarakat akan lebih fokus melayani masyarakat  agar tidak gampang diganggu oleh kelompok lain.
(cyberdakwah.com)

Minggu, 21 Desember 2014

HARI IBU : ANTARA MASA SILAM DAN MASA ISLAM

HARI IBU : ANTARA MASA SILAM DAN MASA ISLAM


Apa sih sejarah dan makna dari Hari Ibu, dan kenapa tanggal 22 desember ditetapkan sebagai hari ibu? Mari kita cari tahu. Hari Ibu adalah hari peringatan/ perayaan terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anaknya, maupun lingkungan sosialnya.

Peringatan dan perayaan biasanya dilakukan dengan membebas tugaskan ibu dari tugas rumah tangga yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.

Hari Ibu diperingati dengan berbagai alasan. Di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, Hari Ibu atau Mothers Day dirayakan pada bulan Maret. Hal itu berhubungan dengan kepercayaan mereka memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus, dan ibu para dewa dalam sejarah atau mitologi Yunani Kuno. Di negara seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Belanda, Malaysia, dan Hongkong, Hari Ibu diperingati pada hari Minggu kedua bulan Mei. Karena hari itu pada 1870 seorang ibu aktivis sosial, Julia Ward Howe, mencanangkan pentingnya perempuan bersatu menghentikan Perang Saudara di Amerika yang belum berserikat.

Sejarah hari ibu telah dikenal pasti sebagai perayaan musim bunga orang-orang Greece, sebagai penghormatan terhadap Rhea, ibu kepada tuhan mereka.

Masyarakat Inggris pada tahun 1600 merayakan hari yang mereka namakan sebagai “Mothering Sunday”. sebagian orang-orang Kristen akan berhenti memakan makanan tertentu karena alasan  dogma agama. Mereka beralasan amalan tersebut diciptakan karena sebagai penghormatan mereka terhadap Mother Mary. Mother Mary adalah Maryam, ibu kepada Nabi Isa Alaihissalam atau Jesus yang mereka anggap sebagai tuhan.

Saat hari itu juga, mayoritas rakyat inggris yang fakir dan miskin, bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Mereka sanggup bekerja jauh meninggalkan keluarganya karena percaya bahwa Jesus akan memberikan kekayaan dan kesenangan dalam waktu itu. Menjelang hari Ahad keempat, mereka diliburkan oleh majikannya, dan pulang ke kampung untuk bertemu dengan ibu. Setiap ibu akan dihadiahkan dengan Mothering Cake atau kue hari ibu untuk merayakan hari tersebut.

Kemudian amalan dan tradisi ini menular ke seluruh dunia dan hingga kini disambut sebagai penghormatan kepada Mother Church. Mother Church dianggap sebagai kuasa spiritual yang agung yang memberi manusia kehidupan dan memelihara mereka dari keterpurukan. Sejak dari itu, perayaan Mothering Sunday telah bercampur aduk dengan upacara keagamaan gerejaan.  dan mejadi ritual agama penghormatan mereka terhadap ibu sama taraf dengan penghormatan mereka terhadap gereja.

Di Amerika Serikat, Hari Ibu disambut seawal 1872 hasil ilham Julia Ward Howe. seorang aktivis sosial dan telah menulis puisi ” The Battle Hymn of The Republic” (TBHoTR). TBHoTR telah dijadikan lagu patriotik yang cukup populer di kalangan warga Amerika pada saat itu. Ungkapan “Hallelujah” dalam bait-bait lagu tersebut memberikan sentuhan kepada Kaum Yahudi dan Zionis  untuk menguasai politik dunia.

Pada tahun 1907 Anna Jarvis dari Philadelphia telah memulai kampanye untuk melancarkan Hari Ibu. Ia pun telah berhasil mempengaruhi Mother’s Church di Grafton, Sehingga west Virginia merayakan dan meramaikan Hari Ibu pada hari ulang tahun kedua kematian ibunya, yaitu pada hari Ahad kedua dalam bulan Mei. Semenjak saat itu, Hari Ibu dirayakan setiap tahun di Philadelphia.

Anna Jarvis dan pendukungnya telah menulis surat kepada menteri, pengusaha dan ahli-ahli politik agar Hari Ibu disambut secara meluas di seluruh wilayah. Usaha mereka telah berhasil sepenuhnya pada tahun 1911 dan hari tersebut disambut baik oleh hampir seluruh wilayah Amerika. Pada tahun 1914, Presiden Woodrow Wilson, secara resmi Hari Ibu sebagai Hari cuti umum dan harus rayakan pada setiap hari Ahad kedua dalam bulan Mei. Biarpun sebahagian besar negara-negara di dunia menyambutnya pada hari yang berlainan, tetapi negara seperti Denmark, Finland, Itali, Turki, Australia, dan Belgium masih merayakannya pada setiap hari Ahad kedua dalam bulan Mei.

Bagaimana dalam Islam ?

Berbakti kepada orang tua khususnya ibu memang lebih dianjurkan oleh agama Islam. Karena memang ibu sangat besar jasanya bagi anak-anaknya melebihi bapak. Oleh karena itu berbakti kepada Ibu didahulukan daripada berbakti kepada Bapak. Sebagaimana dalam hadits berikut,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullahshalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu’. Orang tersebut bertanya kembali, ‘kemudian siapa lagi’, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)
Islam, tanpa mengenal hari tertentu, mewajibkan setiap anak selalu mengistimewakan seorang Ibu. Mungkin kita tidak pernah menyadari, begitu banyak yang telah dilakukan seorang Ibu. Ibu mengandung kita selama 9 bulan 10 hari, berjuang melawan rasa sakit ketika melahirkan, mengesampingkan waktu istirahatnya untuk menyusui, juga merawat ketika kita sehat apalagi saat sakit, dan banyak lagi hal lainnya yang mustahil dapat kita hitung dan kita balas seluruh pengorbanannya.

“Seandainya kita diberi kemampuan membayar setiap tetes ASI, tidak akan ada seorang pun yang dapat melunasi jasa Ibu seumur hidup kita”, Sabda Rosululloh.

Untuk itu, Islam begitu mengistimewakan seorang Ibu, seperti yang banyak kita temui di dalam al-Quran, hadis, dan kisah-kisah teladan.

Allah SWT berfirman, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’,” (QS al-Isrã’ [17]: 23-24).

Bila hal itu dijelaskan, maka perayaan hari ibu tidak diperbolehkan. Tidak boleh mengadakan simbol-simbol perayaan seperti kegembiraan, kebahagiaan, penyerahan hadiah dan lain sebagainya. Seorang muslim wajib memuliakan agamanya dan bangga dengannya dan hendaknya membatasi diri dengan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dalam agama yang lurus yang telah diridloi Allah Ta’ala untuk hamba-Nya, tidak ditambah maupun dikurangi.

Seorang muslim seharusnya tidak ikut-ikutan, Tetapi haruslah membentuk kepribadiannya sesuai dengan ketentuan syari’at Allah Azza wa Jalla, sehingga menjadi ikutan, bukan sekedar menjadi pengikut, menjadi contoh bukan yang mencontoh. Karena syari’at Allah –alhamdulillah- adalah sempurna dilihat dari sisi manapun, sebagiaman firman Allah:

 “Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridloi Islam itu menjadi agama bagimu” (QS. Al-Maidah: 3).

Haknya seorang ibu lebih besar daripada sekedar disambut sehari dalam setahun. Bahkan seorang ibu mempunyai hak yang harus dilakukan oleh anak-anaknya, yaitu memelihara dan memperhatikannya serta menta’atinya dalam hal-hal yang tidak maksiat kepada Allah Azza wa Jalla disetiap waktu dan tempat. 

(dikutib dari media eramuslim.com dan muslim.or.id)

Sabtu, 20 Desember 2014

Kalender Akademik PPDS Keputih 2016/2017



BIDANG PENDIDIKAN & PENGAJARAN
PONPES DARUSSALAM KEPUTIH

Assalamu'alaikum Wr. Wb. 

Dengan berakhirnya tahun ajaran 2015/2016, maka kalender tahun ajaran sebelumnya telah berakhir pula, olehkarena itu, bidang pendidikan dan pengajaran PPDS menerbitkan kalender akademik terbaru untuk tahun ajaran 2016/2017, diharapkan semua pengurus, asatidz, dan santri untuk memperoleh kalender akademik ini di kantor atau website ini, guna stabilnya agenda kegiatan pendidikan di Ponpes Darussalam Keputih, adapun kalendeer ini masih dapat berubah jika dibutuhkan dan mendapat kabijakan dari yayasan, demikian pemberitahuan ini untuk diindahkan dan digunakan sebagaimana mestinya.
teriamakasih atas perhatiannya, 

Wassalamu'laikum Wr. Wb.

Surabaya,   25  Juni 2016
tertada
Bidang pend. dan pengajaran PPDS



Selasa, 02 Desember 2014

ASWAJA

Pengertian dan Pengamalan Aswaja Secara Manhaji

Oleh: KH. Afifuddin Muhajir (Katib PBNU)

Islam adalah Agama rahmah, ramah, dan indah. Agama ini benar-benar menjadi rahmah, ramah, dan indah apabila dipahami, diamalkan dan didakwahkan dengan cara yang indah, dan sebaliknya, Agama ini akan tercoreng apabila tidak dipahami dengan benar atau didakwahkan dengan cara yang yang tidak benar. Keindahan Aagama Islam salah satunya terlihat dari watak “wasathiyah” dan “musamahah” yang memang merupakan ciri khas paling menonjol dari Agama ini.
Bahwa wasathiyah merupakan watak Agama Islam dinyatakan oleh Allah swt. di dalam Alruran:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا [البقرة/143]
Wasathiyah yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “moderasi” memiliki beberapa makna sebagai beriukt:
Pertema, keadilan diantara dua kedhaliman (عدل بين ظلمين) atau kebenaran diantara dua kebatilan (حق بين باطلين). Contohnya terlihat dalam ayat berikut:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا [الفرقان/67]
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا  [الإسراء/29]
Kedua, Penggabungan antara dua hal yang berbeda (جمع بين امرين), seperti penggabungan antara aspek rohaniyah dan jasmaniyah, antara dunia dan akhirat, antara nash dan ijtihad dan antara dalil naqli dan dalil ‘aqli (صحيح المنقول وصريح المعقول).
Ketiga, Keseimbangan (موازن), seperti keseimbangan antara rasa optimis (رجاء) dan pesimis (خوف), antara targhib dan tarhib. Orang yang lebih menonjol rasa khaufnya diberi motivasi (ترغيب) dan orang yang lebih menonjol rasa raja’nya ditakut-takuti (ترهيب).
Keempat, Realistis (واقعية). Kita memiliki banyak kaidah yang menjadi bukti bahwa Islam berwatak realistis selain wataknya yang idealistik. Misalnya:
تغيّر الفتوى بتغيرالظروف الأزمنة  والأمكنة
(Fatwa hukum bisa berubah dengan berubahnya situasi dan kondisi)
اختلاف الفتوى باختلاف حال المستفتى
(Perbedaan fatwa dengan perbedaan kondisi orang yang meminta fatwa)
اذا ضاق الامر اتسع واذا اتسع ضاق
(Dalam kondisi sempit ada kelapangan dan dalam kondisi lapang ada kesempitan)
النزول الى الواقع الادنى عند تعذر المثل العلى
(Rela dengan bumi realitas setelah tidak mungkin menggapai langit idealitas)
Toleransi (تسامح) sebagai watak Agama Islam berbeda dengan jastifikasi. Toleransi tidak berarti membenarkan sesuatu yang dijalani tidak benar. Toleransi adalah menghargai perbedaan dan memahaminya sebagai bagian dari sunnatullah. Alquran yang menyatakan bahwa Agama yang benar adalah Agama Islam dalam waktu yang sama menyatakan bahwa tidak boleh ada pemaksaan dalam Agama.
Dalam konteks perbedaan yang terjadi di kalangan umat Islam, ada pertanyaan yang penting dijawab, yang mana yang sesungguhnya lebih baik, ittifaq atau ikhtilaf? Pertanyaan ini muncul karena ada hadits yang menyatakan:
اختلاف امتى رحمة[1]
Dengan naluriah kemanusiaan, semua orang akan mengatakan bahwa ittifaq lebih baik dari ikhtilaf, tapi ini tidak berarti bahwa ikhtilaf merupakan sesuatu kesesatan. Al-Alusi di dalam tafsirnya mengemukakan pendapat As-Subki yang membagi ikhtilaf di kalangan umat Islam kepada tiga bagian:
1. Ikhtilaf dalam ushul (prisnsip-prinsip Agama). Inilah yang disinyalir oleh Allah swt. melalui firman-Nya:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ [آل عمران/105]
2. Ikhtilaf dalam siayat perang. Dalam soal ini pun seharunya tidak boleh terjadi ikhtilaf, karena berakibat pada hancurnya kepentingan Agama dan dunia.
3. Ikhtilaf dalam furu’ (cabang-cabang Agama), seperti ikhtilaf dalam soal halal dan haram. Dalam soal ini pun pada dasarnya tetap lebih baik ittifaq dari pada ikhtilaf, tetapi diakui bahwa di situ ada dimensi kemudahan dan kemurahan. Itulah makna dari hadits اختلاف امتى رحمة. Meski hadits ini masih dipersoalkan keshahihannya, namun kandungan artinya banyak didukung oleh ucapan-ucapan salaf shalih, misalnya pernyataan khalifah Umar ibnu Abdul Aziz:
ما سرني لو ان اصحاب محمد لم يختلفوا لانهم لو لم يختلفوا لم تكن رخصة[2]
Setelah terjadi firqah-firqah di dalam tubuh kaum muslimin, tawassuth dan tasamuh sebagai ciri khas Agama Islam melekat di firqah yang dikenal dengan nama ahlussunnah waljama’ah, yaitu golongan umat Islam yang berpegang teguh pada apa yang diajarkan, diamalkan dan diteladankan oleh Nabi saw. dan diterima serta diamalkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ittabi’in, dan seterusnya. Kata “jama’ah” adalah sebagai isyarah yang mencirikan golongan ini, bahwa di kalangan mereka tidak terjadi khilaf khusus yang sah dijadikan alasan untuk saling mengkafirkan, menyesatkan, atau membid’ahkan.
Watak tawassuth dan tasamuh yang melekat dengan golongan Aswaja tidak terlepas dari manhaj yang mereka gunakan dalam upaya memahami teks suci (Alquran dan Assunnah) sumber ajaran Islam. Pertama-tama mereka sepakat bahwa sumber ajaran Islam adalah kitab Allah dan sunnah Rasulullah sedangkan akal berperan sebagai alat untuk memahami dan menjelaskan makna yang dimaksud dari dua kitab tersebut. Besar kecilnya peran akan bergantung pada masalah yang dibahas dalam kaitannya dengan nash yang menjadi acuannya. Peran itu bisa saja sangat kecil bila masalah yang dibahas memiliki acuan nash yang sangat jelas dan tegas, dan sebaliknya, peran itu sangat besar bila persoalan yang dibahas tidak memiliki acuan nash secara langsung atau masih ada multi tafsir.
Dalam manhaj Ahlussunnah, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dilakukan di dalam mengkaji nash sehingga diperoleh makna yang benar dan maslahat. Hal-hal itu adalah sebai berikut:
1. Pengkaji memiliki pengetahuan yang cukup tentan kaidah-kaidah bahasa.
2. Memperhatikan sabab nuzul atau sabab wurud baik yang mikro maupun yang makro.
3. Mengaitkan nash yang dikaji dengan yang lain, mengaitkan ayat dengan ayat, hadits dengan hadits, ayat dengan hadits dan hadits dengan ayat, seperti mengaitkan sabda nabi saw. كل بدعة ضلالة dengan sabdanya من احدث فى امرنا هذا فليس منه فهو رد
4. Mengaitkan nushush al-syar’iyah dengan maqashidu al-syari’ah. Antara nushush dengan dengan maqashid ada hubungan saling memerlukan. Maqashid memmerlukan nushush, karena tanpa ada nushush tidak ada maqashid. Di pihak lain, untuk memahami nushush secara benar perlu memperhatikan maqashid.
5. Mengaitkan nash dengan realita lapangan.
Dalam dunia ijtihad dikenal adanya dua macam ijtihad:
  1. Ijtihad dalam tatanan تخريج المناط yaitu ijtihad yang dilakukan untuk melahirkan hukum dari nash atau dalil.
  2. Ijtihad dalam tatanan تحقيق المناط yaitu ijtihad yang dilakukan dalam rangka menetapkan hukum pada realita. Maka yang diperlukan mujtahid selain فقه النص adalah فقه الواقع
    1. Ta’wilun nushush. Yakni memalingkan lafad dari makna yang tampak kepada yang tersembunyi, atau dari makna perimernya kepada makna sekundernya, ketika ada alasan dalil yang memintanya.
    2. Mengembalikan nash-nash yang mutasyabih kepada nash-nash yang muhkan (رد المتشابهات الى المحاكمات)
[1] As-Suyuthy, Al-Jami ash-Shahih, juz I, hal. 13
[2] Ruhu al-Ma’ani, juz IV, hal. 24
[ sumber ]


Rabu, 05 November 2014

Surat Terbuka Bagi Calon Penghafal Al-Quran


Surat Terbuka Bagi Calon Penghafal Al-Quran.



Tulisan ini, sebenarnya, merupakan sebuah jawaban dari pertanyaan yang diajukan oleh sebagian para jamaah di Korea Selatan. Tidak sedikit dari mereka bertanya bagaimana cara dan metode menghafal al-Quran. Saat itu, saya sebagai orang yang ditanya mempunyai waktu yang terbatas, karena banyaknya pertanyaan yang berbeda-beda. Dalam tulisan ini, saya berusaha menjawab bagaimana cara menghafal al-Quran sesuai dengan pengalaman saya pribadi. Dalam menghafal, entah mengahafal apa saja, setidaknya ada tiga cara. Namun, sebelum kita menghafal; pertama, hendaknya kita berniat dengan baik dan ikhlas karena Allah Swt semata dan menanamkan azam yang kuat dalam jiwa dengan
mengetahui keutamaan yang hendak kita hafalkan. Contohnya, jika kita hendak menghafal al-Quran, kita harus tahu bahwa keutamaan penghafal al-Quran adalah diberikan keistimewaan oleh Allah Swt baik di dunia dan akhirat, sebagai keluarganya, mendapatkan singgasana keagungan di akhirat kelak. Dengan mengetahui keutamaan ini, seorang calon penghafal akan termotivasi dan terbakar api semangatnya. Kedua, meminta doa kepada orang tua, utamanya kepada ibu yang mengandung dan melahirkan kita. Ketiga, menyusun jadwal dan sechedul yang jelas dan tepat. Jadwal ini disesuaikan dengan waktu yang dimiliki. Jika seorang santri menghafalnya pada sore hari dan menyetorkannya pada malam hari, maka seorang pekerja yang jadwal kerjanya siang, maka malam hari adalah waktu yang tepat untuk menghafal. Begitu pula sebaliknya. Yang tidak kalah penting dari semua itu adalah istiqamah dan menanamkan komitmen yang kuat, karena dengan istiqamah dan komitmen yang kuat seorang penghafal bisa melewati jalan yang terjal, seperti malas dan futur.


Allah dalam firmannya menjamin kemudahan bagi orang-orang yang mau menghafal al-Quran. Hal ini tertuang dalam surat al-Qamar ayat 17. Tetapi kemudahan tersebut tidak dapat kita raih tanpa disertai system pendukungnya, yaitu cara dan metode mengahafal. Adapun metode menghafal, sesuai dengan pengalaman saya, terbagi dalam tiga cara: Pertama, metode menghafal per- ayat. Dalam al-Quran pojokan (di akhiri ayat setiap halamannya), sekurang-kurangnya ada 12-14 ayat. Dalam metode ini, seorang penghafal membaca ayat yang pertama di ulang-ulang hingga lancar dan hafal. Seorang penghafal tidak diperkenankan pindah ayat sebelum ayaty yang pertama benar-benar lancar. Setelah ayat pertama ini lancar, maka boleh pindah pada ayat yang kedua. Kemudian, ayat memulai membaca ayat yang kedua dengan di ulang-ulang hingga lancar seperti ayat yang pertama. Apabila ayat kedua telah dihafal, maka ayat pertama dibaca kembali dan diteruskan dengan ayat yang kedua. Jika dirasa dua ayat tadi dirasa belum lancar, maka dua ayat tersebut diulang-ulang dan seterusnya. Metode ini saya praktekkan ketika masih kecil, ketika menghafal juz ‘Amma. Walaupun pada saat itu belum terpikirkan metode dan cara menghafal, tapi cara seperti itu yang saya lakukan. Setelah saya amati, selama mengajar al-Quran di Mesir dan di Indonesia, metode ini lebih cocok untuk anak kecil. Tapi tidak menutup kemungkinan cocok juga untuk orang dewasa, karena sebuah metode hanya program. Kedua, metode global. Dalam metode ini, seorang penghafal membaca satu halaman penuh berulang-ulang hingg lancar. Tanpa harus hafal. Setelah bacaan satu halaman tersebut lancar, maka kemudian dihafal ayat per-ayat. sebagaimana metode yang pertama. Metode ini, saya pakai ketika mengulang hafalan Matan al-Syatibi yang lupa. Dalam pengamatan saya, metode ini banyak dipakai oleh para penghafal, karena dianggap lebih mudah dan hasilnya lebih mantab. Ingatan lebih mencerna untuk melanjutkan ayat per-ayat karena telah lancar dari awal. Biasanya yang memakai metode ini remaja dan orang-orang dewasa yang telah baik dan lancar bacaannya. Ketiga, metode gabungan antara metode satu dan dua dengan diakhiri dengan menuliskan apa yang telah di hafal. Dalam metode ini, sedikit lebih rumit. Tampak dalam kerumitan metode ini adalah menuliskan apa yang telah dihafal, karena tidak semua orang ayang hafal al-Quran bisa menuliskan apa yang telah dihafalnya. Terlebih menulis dengan rasm utsmani. Metode ini banyak dipakai di setiap kuttab (tempat menghafal; istilah arab) bagi anak-anak dan dewasa di Maroko, Mesir dan Sudan. Ketika seorang mampu menerjemahkan hafalannya dalam sebuat tinta di atas kertas, maka hafalannya dianggap baik dan lancar. Metode ini, saya pakai ketika menghadapi ujian di universitas al-Azhar. Hafal saja tidak cukup tanpa diterjemahkan dalam bentuk tulisan, dan Alhamdulillah berhasil cukup baik. Semoga surat terbuka ini, bermanfaat bagi yang hendak menghafal dan mempunyai niat mengajarkan anaknya untuk menghafal. Dalam tulisan ini hanya sekelumit dari pengalaman saya dan tidak ada niat untuk pamer. Hanya sekedar menjawab dan berbagi informasi. Maaf belum di edit dan rencana akan dikembangkan dikemudian hari tulisan ini. M. Fathurrozi Alawi Nawafi. 28-08-2013.
Changwoen South Korea.

Minggu, 19 Oktober 2014

JADWAL ISTHIGHASAH UMUM




Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Berikut ini adalah jadwal Istighasah Qubro untuk Umum 
Oleh Jama'ah Istighasah Alm. KH. Abdus Syakur 
(Ponpes Darussalam Keputih Sukolilo) Surabaya :
Hari   : Selasa Dini Hari
Pukul  : 00.00 WIB (Dini Hari) - Selesai
Tempat   : Ndalem Pengasuh PP. Darussalam
Jl. Arif Rahman Hakim No. 9 Keputih Sukolilo Surabaya

Semoga Bermanfaat
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.



KHATMIL QUR'AN RUTIN AHAD LEGI




Assalamu'alaikum Wr. Wb

DISAMPAIKAN KEPADA SELURUH SANTRI 
PONPES DARUSSALAM KEPUTIH, 
BAHWA PONPES DARUSSALAM MENGADAKAN KEGIATAN RUTIN BULANAN
YAKNI : 
"KHATMIL QUR'AN"
YANG DILAKSANAKAN SETIAP AHAD LEGI 
MULAI BA'DA SUBUH BERTEMPAT DI NDALEM PENGASUH 
PP. DARUSSALAM KEPUTIH
Semoga Allah melimpahkan Rahmat-Nya kepada Kita Semua ... Amiiin...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.



Minggu, 12 Oktober 2014

JADWAL PENGAJIAN UNTUK UMUM

JADWAL PENGAJIAN UMUM 
(PUTRA-PUTRI)
PONPES DARUSSALAM KEPUTIH SUKOLILO SURABAYA
_______________________________________________

UNDANGAN UNTUK UMUM

Assalamu'alaikum War. Wab.
Disampaikan kepada seluruh Masyarakat (khususnya yang berada di sekitar Ponpes Darussalam Keputih Surabaya) yang berkeinginan untuk 
mengikuti pengajian umum, dalam rangka menuntut ilmu, dan mendekatkan diri pada Allah Swt, dipersilahkan hadir sesuai jadwal berikt ini : 

KITAB-KITAB PENGAJIAN UMUM SUBUH


1. NAMA KITAB : SULLAMUT TAUFIQ

    MU'ALLIM       : Ust. H. Arsyad 'Arif / Dr. Hj. Zumratul Mukaffa, M.Ag
    WAKTU            : - HARI : SENIN & SELASA
                                 - JAM   : 05.00-06.00 WIB
    TEMPAT           : Ndalem Pengasuh Ponpes Darussalam Keputih
                                 (Jl. Arif Rahman Hakim No 9, Keputih Surabaya | Barat Masjid As-Sa'adah)
_____________________________________________

2. NAMA KITAB : RISALAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH

    MU'ALLIM       : Ust. M. Fathur Rozi, Lc,. M.THi.
    WAKTU            : - HARI : KAMIS
                                 - JAM   : 05.00-06.00 WIB
    TEMPAT           : Ndalem Pengasuh Ponpes Darussalam Keputih
                                 (Jl. Arif Rahman Hakim No 9, Keputih Surabaya | Barat Masjid As-Sa'adah)
_______________________________________________________

3. NAMA KITAB : TA'LIM AL- MUTA'ALLIM

    MU'ALLIM       : Ust. M. Ishbir, M.Pd.I
    WAKTU            : - HARI : SABTU
                                 - JAM   : 05.00-06.00 WIB
    TEMPAT           : Ndalem Pengasuh Ponpes Darussalam Keputih
                                 (Jl. Arif Rahman Hakim No 9, Keputih Surabaya | Barat Masjid As-Sa'adah)


Demikian informasi ini kami sampaikan semoga memberi manfaat pada anda semua yang mebacanya, atas ikut sertanya kami sampaikan Jazakumullah Khairul Jaza'
Wassalamu'alaikum War. War


Surabaya, 12 Oktober 2014
TTD
Bag. Pendidikan dan Pengajian 
PP. Darussalam Keputih Surabaya

Pengajian ini tidak dikenakan Biaya Apapun ( GRATIS ) kecuali pengadaan Kitab bagi yang berminat dan belum memiliki 3 kitab tersebut  |  Info Lainya Hub. Kontak Kami

KHUSUH AKHWAT : 


Sabtu, 11 Oktober 2014

JADWAL PENGAJIAN

JADWAL PENGAJIAN
MADRASAH DINIYAH PONPES DARUSSALAM
KEPUTIH SUKOLILO SURABAYA
TA. 2014/2015




KELAS AWWALIYAH


Hari


Waktu


Pengajian / Kitab


KU


T


Senin


16.00-17.00 WIB


Bahasa Arab


8


DL


Selasa


05.00-06.00 WIB


Tahfidz Al-Qur'an


9


AS


Rabu


16.00-17.00 WIB


Mahfudhat


8


DL


Kamis


05.00-06.00 WIB


Fashahah
Al-Quran


6


AS


Jum'at


16.00-17.00 WIB


Safinatun Najah


13


DL


Sabtu


16.00-17.00 WIB


Nahwu


12


AS


Ahad


16.00-17.00 WIB


Sharraf


13


AS





KELAS WUSTHA I


Hari


Waktu


Pengajian / Kitab


KU


T


Senin


05.00-06.00 WIB
19.30-20-30 WIB


Sullamut Taufiq*
Nashahihul Ibad


1/ 2
4


DL
AS


Selasa


05.00-06.00 WIB
19.30-20-30 WIB


Sullamut Taufiq*
Arbain Nawawiyah


1/ 2
5


DL
AS


Rabu


05.00-06.00 WIB
19.30-20-30 WIB


Fashahah Al-Qur’an
Bahasa Arab


6
10


DL
AS


Kamis


05.00-06.00 WIB


Risalah Aswaja*


9


DL


Jum'at


05.00-06.00 WIB
19.30-20-30 WIB


Taqrib
Diba'


7
#


DL
MA


Sabtu


05.00-06.00 WIB


Ta’lim Muta’alim*


11


DL


Ahad


19.30-20-30 WIB


Mutammimah Jurumiyah


10


AS





KELAS WUSTHA II


Hari


Waktu


Pengajian / Kitab


KU


T


Senin


05.00-06.00 WIB
19.30-20-30 WIB


Sullamut Taufiq*
Minhajul ‘Abidin


1/ 2
5


DL
DL


Selasa


05.00-06.00 WIB
19.30-20-30 WIB


Sullamut Taufiq*
Al-Idhah Fil Hajj


1/ 2
4


DL
DL


Rabu


05.00-06.00 WIB
19.30-20-30 WIB


Bahtsul Masail
Mabadiul Awwaliyah


11#
7


AS
DL


Kamis


05.00-06.00 WIB


Risalah Aswaja*


9


DL


Jum'at


05.00-06.00 WIB
19.30-20-30 WIB


Al-Idhah Fil Hajj
Diba'


6
#


DL
MA


Sabtu


05.00-06.00 WIB


Ta’lim Muta’alim*


11


DL


Ahad


19.30-20-30 WIB


Qira'atul Kutub Wal Insya'


9


DL

Keterangan : 
KU : Kode Ustadz/ah         AS : Asrama
T : Tempat                          DL : Ndalem
MA : Masjid As-Sa'adah



KU (KODE USTADZ/USTADZAH)


1.   H. A. Arsyad 'Arif


6.   Rahmad Abd. Rahman


11.   Muh. Isbir


2.   Dr. Hj. Zumratul
Mukaffa


7.   Dzurriyyatun Najah


12.   Moh. Fahmil Huda


3.   Siti Musfiqah


8.   Rif'iyyatul Fahimah


13.   Ain Firdaus


4.   H. Ahmad Maraziq


9.   M. Fathur Rozi


 # Koor. Kegiatan 


5.   Sukamto


10. M. Alfithrah Arufa







Popular Posts